Sejarah PSHT: Eyang Suro, Penamaan PSHT, Ketua Umum, dan Catatan Sejarah

Sejarah PSHT Eyang Suro, Penamaan PSHT, Ketua Umum, dan Catatan Sejarah
Sejarah PSHT Eyang Suro, Penamaan PSHT, Ketua Umum, dan Catatan Sejarah

Sejarah PSHT menurut catatan, lahir pada tahun 1922. Anggota PSHT sepakat akan hal ini dan perayaan 100 tahun PSHT dilaksanakan pada tahun 2022 ini. Akan tetapi, embrio PSHT sudah ada sejak tahun 1903 yang diberi nama Sedulur Tunggal Kecer atau Joyo Gendelo Tjipto Mulyo sebagai nama untuk pencak silatnya. 

Sedulur Tunggal Kecer merupakan perkumpulan untuk orang-orang yang berlatih pencak silat bersama Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo. Perkumpulan atau paguyuban tersebut berdiri di kampung Tambak Gringsing, kota Surabaya.

Bacaan Lainnya

Sedulur Tunggal Kecer adalah penerapan dari keilmuan Ki Ngabehi Soerodiwirjo selama merantau dari Timur menuju Barat Nusantara sebelum akhirnya kembali lagi ke Surabaya. Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirdjo atau dikenal juga sebagai Eyang Suro, pernah mengikuti pencak silat di banyak perguruan.

Baca Juga: 7 Janji Siswa PSHT Lengkap Dan Maknanya

Catatan Sejarah pencak Silat Eyang Suro Selama Merantau

Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirdjo tercatat telah mempelajari 30 jenis pencak silat kala itu. Berikut adalah pencak silat yang dipelajari atau diikuti oleh Eyang Suro.

1. Parahyangan, Bandung, Jawa Barat (1982–1983)

Usahanya dalam belajar pencak silat memunculkan kemauan yang tinggi dalam diri Ki Ngabehi Suro Diwirdjo Saat berada di Parahyangan, Bandung, Jawa Barat.

Pencak silat yang pernah Eyang Suro ikuti antara lain adalah:

  1. Cimande
  2. Cikalong
  3. Cibaduyut
  4. Ciampea
  5. Sumedangan

2. Jakarta (1883–1884)

1883 kemudian, Eyang Suro melanjutkan perantauannya ke Jakarta. Jakarta yang juga merupakan Kota Betawi ia jadikan ladang untuk belajar pencak silat, sama ketika dirinya berada di Parahyangan, Bandung.

Selama di Jakarta, pencak silat yang didalami Eyang Suro antara lain adalah:

  1. Betawian
  2. Kwitangan
  3. Monyetan
  4. Toya

3. Bengkulu, Provinsi Bengkulu (1884)

Setahun berikutnya ia berpindah dari Jakarta ke Bengkulu, tepatnya pada tahun 1884, Eyang Suro merantau ke tempat lain yang lebih jauh lagi dari tempat asalnya. Eyang Suro berpindah ke Bengkulu karena orang Belanda yang menjadi rekannya bekerja pindah ke tempat tersebut. Hal itu membuatnya mau tidak mau harus ikut pindah pula. Bengkulu, Jakarta, Bandung, bagi Eyang Suro sama saja. Ia sama-sama memiliki kemauan yang tinggi untuk belajar pencak silat.

Perantauannya di Bengkulu hanya berlangsung selama enam bulan di tahun 1884.

4. Kota Padang, Sumatera Barat (1884–1898)

Setelah enam bulan di Bengkulu, ia berpindah lagi ke Padang. Tujuan eyang suro masih kuat untuk belajar pencak silat dimanapun ia berada saat itu. Di dua daerah sebelumnya, Bengkulu dan Padang, Eyang Suro mendapat banyak permainan pencak silat yang dapat dipelajari. Berikut adalah permainan-permainan pencak silat yang Eyang Suro dapatkan saat itu.

Permainan yang didapat saat di Minangkabau:

  1. Permainan Padang Pariaman
  2. Permainan Padang Sidempoan
  3. Permainan Padang Panjang
  4. Permainan Padang Pesur atau Padang Baru
  5. Permainan Padang Sikante
  6. Permainan Padang Alai
  7. Permainan Padang Partaikan

Baca Juga: Download Buku Jurus PSHT Lengkap PDF Bergambar (Sabuk Polos Sampai Putih)

Permainan yang didapat saat di Bukittinggi:

  1. Permainan Orang Lawah
  2. Permainan Lintang
  3. Permainan Solok
  4. Permainan Singkarak
  5. Permainan Sipei
  6. Permainan Paya Punggung
  7. Permainan Katak Gadang
  8. Permainan Air Bangis
  9. Permainan Tariakan

5. Banda Aceh (1898)

14 tahun masa perantauan di Padang, Sumatera Barat banyak memberikannya kesempatan untuk belajar pencak silat lebih lama di daerah itu. Oleh karenanya pencak silat yang Eyang Suro dapatkan jauh lebih banyak di daerah Padang ketimbnag dserah-daerah lain yang menjadi tujuan perantauannya. Beberapa tahun sebelum 1903 di mana Sedulur Tunggal Kecer berdiri, tepatnya pada tahun 1898, Eyang Suro bertolak ke Banda Aceh.

Di tempat ini Ki Ageng Soerodiwirdjo mendapatkan pelajaran-pelajaran pencak silat lainnya, yakni:

  1. Permainan Aceh Pantai
  2. Permainan Kucingan
  3. Permainan Bengai Lacam
  4. Permainan Simpangan
  5. Permainan Turutung

Akhir dari perantauan Eyang Suro, ia kembali ke tempat asalnya lalu mendirikan Sedulur Tunggal Kecer. Sedulur Tunggal Kecer ini yang nantinya akan menjadi cikal bakal munculnya SH PSC (Setia Hati Pemuda Sport Club) dan PSHT (Persaudaraan Setia Hati Terate).

Catatan Sejarah Penamaan PSHT (Persaudaraan Setua Hati Terate)

PSHT sendiri tidak serta merta memiliki nama PSHT saat pertama kali berdiri pada tahun 1922. PSHT harus melalui sejarah yang panjang sampai harus memiliki nama sebagai “PSHT” yang kita kenal sekarang. Berikut adalah catatan penamaan PSHT dari waktu ke waktu.

1. Sedulur Tunggal Kecer (1903–1917)

shterate.or.id menyebutkan bahwa Sedulur Tunggal Kecer didirikan pada tahun 1903. Perkumpulan pencak silat ini didirikan di Surabaya saat Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirdjo menjadi polisi dengan pangkat mayor polisi pada tahun sebelumnya, tepatnya 1902.

Sedulur tunggal kecer kini menjadi peribahasa yang tersemat dalam masing-masing anggota PSHT. Ada pun makna dari peribahasa Sedulur Tunggal Kencer tersebut adalah

“Walaupun bukan saudara kandung, tetapi darah kekeluargaan selalu mengalir di dalam setiap anggota PSHT.”

Kecer atau keceran sendiri merupakan istilah umum untuk menyebutkan pengesahan atau sah-sahan dalam bahasa Jawa.

Nama pencak silat dari perkumpulan Sedulur Tunggal Kecer yang didirikan oleh Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirdjo adalah Joyo Gendilo Cipto Mulyo. Menurut berita yang ditulis oleh solopos.com, hari berdirinya perkumpulan ini tepat pada Jumat Legi, tanggal 10 April 1903.

2. Setia Hati atau SH (1917)

Ki Ngabehi Surodiwirdjo lambat laun memiliki banyak murid. Beberapa murid di antaranya adalah siswa dan pegawai sekolah Pamong Praja Priboemi OSVIA dan MILO yang bertempat di Madiun, Jawa Timur. Bahkan ia juga memiliki murid dari luar Madiun, seperti Surabaya, Malang, Kediri, Solo, Yogyakarta, dan juga Semarang.

Catatan dari ilmusetiahati.com mengatakan bahwa berubahnya penamaan Sedulur Tunggal Kecer dengan pencak silatnya yaitu Joyo Gendolo Cipto Mulyo akibat dari perkembangan yang sangat pesat. Per tanggal 29 Oktober, Senin Pahing, Ki Ngabehi Suro Diwirdjo mengubah Sedulur Tunggal Kencer menjadi Setia Hati dengan tujuan menyelaraskan ajaran pencak silat dan kebatinan Eyang Suro.

Salah satu murid Eyang Suro, ki Hadjar Hardjo Oetomo yang merupakan pendiri PSHT 1992, memiliki visinya sendiri dalam berpencak silat. Tujuan yang hendak dicapai Ki Hadjar Hardjo Oetomo adalah menjadikan pencak silat sebagai alat untuk melawan penjajahan Belanda di tanah pertiwi kala itu.

3. Setia Hati Persaudaraan Pencak Sport Club alias Pemuda Sport Club (1922)

Ki Hadjar Hardjo Oetomo dan Eyang Suro memiliki pendapat yang berbeda perihal tujuan dan fungsi pencak silat. Ki Hadjar Hardjo Oetomo berpendapat bahwa pencak silat seharusnya digunakan oleh para pemuda untuk perjuangan melawan penjajah. Kala itu pencak silat hanya diajarkan kepada mereka yang merupakan kaum ningrat atau bangsawan Jawa saja.

Tahun 1992 inilah Ki Hadjar Hardjo Oetomo memulai pergerakannya dengan cara bergerilya melatih para pemuda dari tempat tinggalnya di Pilangbango, Madiun. Ia juga memiliki murid dari berbagai kota seperti Kediri, Nganjuk, dan Ngawi.

Kelompok pencak silat yang dibentuk oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo diberi nama sebagai Setia Hati Pencak Sport Club. Namun penamaan ini memicu menyebabkan belanda curiga, oleh karenanya diubahlah menjadi Setia Hati Pemuda Sport Club yang memiliki singkatan sama, yaitu SH PSC atau dikatakan juga sebagai SH Muda.

4. Persaudaraan Setia Hati Terate (1951)

Kongres pertama kali dilakukan pada hari Minggu Pahing, 25 Maret 1951 di Jalan Dr. Soetomo No. 76, Madiun Jawa Timur. Kongres tersebut dipelopori oleh salah satu murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo dengan tujuan untuk melestarikan SH PSC atau SH Muda yang mana kala itu Ki Hadjar Hardjo Oetomo sudah sepuh dan sedang sakit parah. Kondisi itu membuat Ki Hadjar Hardjo Oetomo tidak lagi bisa memberikan pelatihan pencak silat secara langsung.

Pada kongres yang diadakan tahun 1951 inilah keputusan untuk mengubah nama Setia Hati Pemuda Sport Club (SH PSC) yang mula-mula bertumpu pada perguruan sebagai bentuk dasarnya kini berbentuk Organisasi Persaudaraan dengan nama Setia Hati Terate. Nama itu kemudian dikenal hingga sekarang sebagai Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) yang masih memiliki keterkaitan dengan SH PSC 1922.

Kenapa PSHT tidak dikatakan sebagai pencak silat yang lahir pada masa Eyang Suro tahun 1903? Alasannya adalah maklumat atau ketetapan yang dikeluarkan oleh Eyang Suro Sendiri.

Pada 1 Mei 1935, Persaudaraan Setia Hati yang dipimpin oleh Ki Ageng Ngabehi Surodiwirjo Mengeluarkan keputusan bahwa Setia Hati yang ada di Winongo (Persaudaraan Setia Hati Winongo Tunas Muda) dan Setia Hati yang ada di Madiun (Persaudaraan Setia Hati Terate) sudah tidak memiliki hubungan dengan perkumpulan lainnya yang memakai nama Setia Hati. Hal itulah yang membuat banyak perguruan atau organisasi dengan nama rumpun Setia Hati namun tidak berkaitan satu sama lain.

Catatan Sejarah Ketua Umum Organisasi PSHT

Catatan Sejarah PSHT dimulai dari kepemimpinan Ki Hadjar Hardjo Oetomo. Menurut catatan dari ilmusetiahati.com, berikut adalah seluruh ketua umum PSHT sampai tahun 2021.

Sejarah Pendiri PSHT - Sejarah PSHT Eyang Suro, Penamaan PSHT, Ketua Umum, dan Catatan Sejarah
Sejarah Pendiri PSHT – Sejarah PSHT Eyang Suro, Penamaan PSHT, Ketua Umum, dan Catatan Sejarah
  1. Ki Hadjar Hardjo Oetomo, Perintis SH Terate (1922)
  2. Soemo Soedarjo, Hoofd Leader SH PSC (1941–1943)
  3. Hassan Soewarno, Hoofs Leader SH PSC (1943–1945)
  4. Hardjo Mardjoet, Hoofd Leade SH PSC (1945–1951)
  5. Santoso Kartoatmodjo, Ketua Umum SH Terate (1951–1953 & 1958–1966)
  6. Soetomo Mangkoedjojo, Ketua Umum SH Terate (1953–1956 & 1966–1974)
  7. Irsad Hadi Widagdo, Ketua Umum SH Terate (1956–1958)
  8. Imam Koesoepangat, Ketua Umum SH Terate (1974–1977)
  9. Badini, Ketua Umum SH Terate (1977–1981)
  10. Tarmadji Boedi Harsono, Ketua Umum SH Terate (1981–2014)
  11. Richard Simorangkir, Ketua Umum SH Terate (2014)
  12. Muhammad Taufiq, Ketua Umum SH Terate (2016–2021)

1. Ki Ageng Ngabei Soerodiwirdjo

Ki Ageng Ngabei Soerodiwirdjo tidak termasuk dalam pemimpin PSHT itu sendiri. Akan tetapi, ia memiliki peranan cukup besar atas kemunculan PSHT sebagai organisasi persaudaraan maupun perguruan pencak silat.

Ia merupakan Putra sulung Ki Ngabei Soeromihardjo yang lahir pada 1876 dengan nama Muhammad Masdan. Ia adalah tokoh yang berperan penting dalam penyematan sejarah PSHT, biasa dikenal juga sebagai Eyang Suro atau Mbah Suro.

Tahun 1890, Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo di asuh Wedono yang merupakan pamannya setelah lulus dari Sekolah Rakyat. Ia mulai mengasah bela diri pencak silat saat mengenyam pendidikan pondok pesantren Tebu Ireng Jombang sebelum akhirnya pindah ke Parahyangan, Bandung, pada tahun 1892.

Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo merantau dari satu tempat ke tempat lain seperti Jakarta, Lampung, Padang, dan Aceh sebelum mulai kembali ke Surabaya pada tahun 1902. Selama masa perantauannya, Ia belajar berbagai macam aliran pencak silat. Di Surabaya Ia mengemban gelar Mayor Polisi Di kampung Tambak Gringsing.

Tahun berikutnya, pada 1902 Ki Ageng Soerodiwirjo mendirikan perkumpulan bernama “Sedulur Tunggal Kecer” sedangkan pencak silatnya bernama “Joyo Gendelo Tjipto Muljo”.

Selang beberapa tahun berlalu, pencak silat yang didirikannya berganti nama menjadi Persaudaraan Setia Hati (PSH) di desa Winongo, Madiun, pada tahun 1917. Tujuan dari penamaan PSH adalah mengikat rasa persaudaraan  antar warga PSH sekaligus menciptakan jiwa nasionalisme guna memerangi penjajah.

Muhammad Masdan alias Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo alias Mbah Suro atau Eyang Suro wafat di usianya yang ke-68 tahun. Ia dimakamkan di desa Winongo pada hari Jumat 10 November 1944.

2. Ki Hadjar Hardjo Oetomo

Sejarah Berdirinya PSHT dimulai dari pergerakan Ki Hadjar Hardjo Oetomo yang hendak menjadikan pencak silat sebagai alat untuk melawan penjajah. Ia bahkan melakukan pelatihan secara gerilya di rumah miliknya.

Tokoh perintis pergerakan kemerdekaan Indonesia sekaligus tokoh pendiri organisasi PSHT yang lahir pada 1980. Dengan maksud agar pencak silat dapat dipelajari oleh berbagai macam kalangan maka “Terate” disematkan dalam penamaan Persaudaraan Setia Hati Terate.

Awalnya PSHT (Era Ki Ageng Ngabei Soerodiwirjo) hanya dipelajari oleh mereka dari kalangan bangsawan. PSHT kemudian merangkul segala elemen sosial untuk ikut berlatih bersama. Hal tersebut kemudian menjadi makna bagi falsafah tiga bunga teratai pada logo PSHT.

Ki Hadjar Hardjo Oetomo memiliki tujuan untuk menyebarkan kebaikan dan keselamatan terhadap sesama manusia. Akan tetapi, perjalanan yang ia harapkan tidak berjalan baik karena saat itu Belanda tengah melakukan kolonialisme.

Sejarah PSHT yang terbentuk pada tahun 1922 termasuk juga dalam organisasi pergerakan nasional Sarekat Islam (SI). Keduanya memiliki tujuan yang sama untuk mengusir Belanda dari tanah Indonesia.

Walau pun begitu, tujuan Ki Hadjar Hardjo Oetomo sebagai pendekar tidak ia lupakan. Waktu senggangnya dipergunakan untuk memberikan pelajaran silat guna membangun perguruan silat yang bernama SH Sport Club.

Belanda mencurigai adanya potensi pemberontakan dari apa yang dibangun oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo. Hal tersebut membuatnya harus mengalami pengasingan dari Jember, Cipinang, dan Padangpanjang lalu meninggal dunia pada tahun 1952 di desa Pilangbango, Madiun.

3. RM. Soetomo Mangkoedjojo

Murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo pada tahun 1942 yang mengusulkan penggantian nama SH PSC sebagai PSHT. Perubahan itu disepakati dalam kongres pertama tahun 1948.

4. M. Irsyad

Setelah RM. Soetomo Mangkoedjojo dipindah tugaskan ke Surabaya, ketua PSHT digantikan oleh M. Irsyad. Ia berperan penting dalam pengembangan ilmu di PSHT. Pasalnya 90 senam, sebagian jurus, jurus belati, dan jurus toya.

5. R.M. Imam Koes Soepangat

Sejarah PSHT Tahun 1974, Kongres pertama SH Terate menghasilkan keputusan Imam Koes Soepangat sebagai Ketua Umum dan Soetomo Mangkoedjojo sebagai Dewan Pusat PSHT.

6. Badini

Sejarah PSHT Tahun 1977, kongres kedua SH Terate terselenggara. Hasil dari kongres ini melahirkan keputusan Badini yang berasal dari Magetan memimpin PSHT. Sementara itu Imam Koes Soepangat menjadi Dewan Pusat PSHT.

7. Tarmadji Boedi Harsono

Tarmadji terpilih dalam kongres dengan kepengurusan sebagai ketua pusat PSHT periode 1977–1981. Pada periode ini perubahan uang mahar untuk pengesahan mulai diberlakukan. Mahar yang semula berbentuk ketengan atau benggolan saat itu diganti menjadi uang logam rupiah yang berlaku di Indonesia.

Menurut keterangan dari ilmusetiahati.com, dulu jika calon warga membutuhkan uang logam ketengan untuk mahar, mereka bisa mendapatkannya dari Ibu Inem Hardjo Oetomo dengan cara ditukarkan dengan uang yang baru. Hal tersebut dapat membantu kehidupan Ibu Inem sebagai bentuk penghargaan warga atas jasa Ki Hadjar Hardjo Oetomo mendirikan PSHT.

Mubes III (Musyawarah Besar) SH Terate yang dilaksanakan pada 13 November 1981 saat Tarmadji terpilih ketua umum PSHT, sekaligus menjadi hari di mana materi baku PSHT tersusun. Materi baku PSHT tersebut antara lain 36 jurus dan 90 senam dasar. Selain itu terbentuk juga materi jurus toya kreasi Tri Susilo Haryono dan senam masal kreasi Imam Suyitno.

8. Muhammad Taufiq

Parapatan luhur yang mengeluarkan keputusan Muhammad Taufiq sebagai Ketua Umum dilaksanakan pada 11–12 Maret 2016. Muhammad Taufiq Terpilih untuk menjadi pemimpin PSHT selama 5 tahun ke depan hingga terselenggara kembali.

Parapatan Luhur kembali dilaksanakan pada 29 Oktober 2021. Muhammad Taufiq kembali terpilih menjadi pemimpin PSHT.

Catatan Sejarah PSHT: Buku Harian Ki Hadjar Hardjo Oetomo

Menurut catatan pribadi yang ditulis oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo menyebutkan bahwa maksud dan tujuan membuka latihan pencak silat dengan hati niat mulia. Niat mulia itu yakni mengembangkan ilmu pencak silat Setia Hati ke masyarakat kecil dan para pejuang perintis kemerdekaan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh ajaran Setia Hati yang mulanya hanya diberikan kepada kaum Ningrat (bangsawan jawa).

Pencak silat cenderung dipelajari oleh Kaum bangsawan, misalnya Bupati, camat, Wedana, mantri polisi, atau kerabatnya masyarakat berdarah biru.

Kaum bangsawan jawa dapat dengan mudah diidentifikasi dengan pemakaian gelar Raden (R) di depan namanya. Misalnya Raden Mas (RM), Raden Ageng (RA), Raden Bagus (RB), atau Kanjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT).

Catatan lain menyebutkan bahwa Ki Hadjar Hardjo Oetomo tidak sependapat dengan Ki Ageng Ngabehi Surodiwirdjo. Alasan lainnya adalah saat itu ia tidak setuju sama sekali jika ilmu pencak silat diajarkan kepada orang Belanda. Hal itu menurutnya bertentangan dengan prinsip yang ingin menjadikan pencak silat sebagai basis pelatihan untuk pemuda Nusantara dalam tujuan menyusun kekuatan perlawanan kepada Belanda atau penjajah.

Dalam buku harian pribadinya itu, Ki Hadjar Hardjo Oetomo memberikan nama perguruan pencak silat SH PSC di Pare, Kediri. Pusat latihan tetap berada di Pilangbango, Madiun, yang menjadi kediaman Ki Hadjar Hardjo Oetomo.

Telah dikatakan sebelumnya bahwa tradisi awal berdirinya SH PSC adalah paguron atau perguruan pencak silat. Hal tersebut kemudian berubah setelah kongres PSHT Pertama berlangsung.

Selain menjadi ajang olah kanuragan (ilmu bela diri), SHP PSC memang sengaja dibentuk sedemikian rupa sebagai basik pelatihan dan pendadaran pemuda dalam pergerakan menentang penjajahan Belanda. Oleh karena itulah meski termasuk sebagai perguruan baru, SH PSC diawasi dengan sangat ketat oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Itulah sejarah PSHT dari masa ke masa. Banyak hal yang terjadi selama 100 tahun berdirinya PSHT yang menarik untuk diketahui.

Pos terkait