Riwayat 68 Tahun Eyang Suro dalam Persilatan Indonesia

Riwayat 68 Tahun Eyang Suro dalam Persilatan Indonesia
Riwayat 68 Tahun Eyang Suro dalam Persilatan Indonesia

Nama asli Eyang Suro atau Mbah Suro adalah Ki Ageng Hadji Ngabehi Soerodiwirdjo, dikenal juga dengan nama Muhammad Masdan. Ia merupakan putra sulung (tertua) dari Ki Ngabehi Soeromihardjo.

Ada dua versi mengenai tahun dan tempat kelahiran Eyang Suro. Versi pertama mereferensi dari biografi singkat yang ditulis oleh jaist.ac.jp, yaitu lahir tahun 1869 di Gresik, Jawa Timur. Sedangkan referensi lain dari biografi yang ditulis oleh shterate.com mengatakan bahwa Eyang Suro lahir pada 1876 di Surabaya, Jawa Timur. Namun, sebagian besar biografi yang ditulis memiliki gari besar yang sama.

Bacaan Lainnya
Gambar Eyang Suro
Gambar Eyang Suro

Garis Keturunan Eyang Suro

Ayahnya, Ki Ngabei Soeromihardjo merupakan mantri cacar di Ngimbang, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Ayahnya juga merupakan saudara sepupu dengan Bupati Jombnag kala itu, RAA Soeronegoro.

Baca Juga: Ide Pose Foto ala Warga PSHT Ganteng dan Cantik

Ki Ngabei Soerodiwirdjo mempunyai garis keturunan lnagsung dengan Batoro Katong di Ponorogo. Di Surabaya, ia menikah dengan Sarijati yang saat itu berumur 29 tahun. Dari pernikahan tersebut dianugerahi 5 anak, yaitu 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Namun semua anak-anaknya meninggal dunia pada saat masih belia.

Pendidikan yang Ditempuh Eyang Suro

1890, saat usianya menginjak tahun ke 14 kala itu, Ki Ngabei Soerodiwirdjo lulus dari Sekolah Rakyat (SR) yang sekarang dikenal dengan sebutan Sekolah Dasar (SD). Ia kemudian diasuh oleh pamannya yang bernama Wedono dari Wonokromo.

1891, Setahun setelah lulus dari Sekolah Rakyat yang berarti juga usianya kala itu 15 tahun, ia menjadi seorang Kontrolir Belanda. Ia bekerja sebagai juru tulis dengan syarat mengikuti magang terlebih dahulu.

Beberapa waktu setelahnya Eyang Suro yang masih berusia muda mengikuti pengajian pesantren sebagai santri di Pondok Pesantren Tebu Ireng yang berada di Jombang, Jawa Timur. Di Pondok Pesantren Jombang tersebut Eyang Suro yang masih berusia muda mulai mempelajari pencak silat untuk pertama kalinya. 

1892, Eyang Suro muda pindah ke Jawa Barat, Bandung, atau lebih tepatnya Parahyangan. Parahyangan menjadi tempat Eyang Suro muda untuk mempertajam lagi ilmu pencak silat menggunakan segala kesempatan yang ia miliki.

Pencak Silat yang Pernah Didalami oleh Eyang Suro

Ki Ageng Ngabei Soerodiwirdjo atau Muhammad Masdan dianggap sebagai seseorang dengan bakat yang memiliki kemauan keras untuk mencapai usahanya. Ia juga cerdas karena berpikir cepat serta menghimpun berbagai macam gerak dan langkah permainan.

Saat berada di Parahyangan, Bandung, Jawa Barat, pencak silat yang pernah Eyang Suro ikuti antara lain adalah:

  1. Cimande
  2. Cikalong
  3. Cibaduyut
  4. Ciampea
  5. Sumedangan

1883 kemudian, Eyang Suro bertolak ke Jakarta. Kota Betawi juga ia jadikan ladang untuk belajar pencak silat sama seperti Parahyangan Bandung. Selama di Jakarta, pencak silat yang ia pelajari antara lain adalah:

  1. Betawian
  2. Kwitangan
  3. Monyetan
  4. Toya

Baca Juga: Gambar Pasang PSHT 1 Sampai 20 Untuk Latihan

Setahun berikutnya, 1884, Eyang Suro merantau ke tempat lain yang lebih jauh lagi dari tempat asalnya, yaitu merantau ke Bengkulu. Alasannya merantau ke Bengkulu kala itu karena orang Belanda yang ia ikuti pindah ke Bengkulu sehingga memaksanya untuk ikut juga. Agaknya saat di bengkulu tak berbeda jauh dengan di Jawa Barat.

Foto Eyang Suro
Foto Eyang Suro

Enam bulan setelahnya ia berpindah lagi ke Padang. Di mana pun Eyang Suro berada saat itu, tujuan yang hendak dicapainya tetaplah sama yaitu untuk mempelajari pencak silat. Di dua daerah terakhir, Bengkulu dan Padang, Eyang Suro mendapat banyak permainan pencak silat.

Permainan yang didapat saat di Minangkabau:

  1. Permainan Padang Pariaman
  2. Permainan Padang Sidempoan
  3. Permainan Padang Panjang
  4. Permainan Padang Pesur atau Padang Baru
  5. Permainan Padang Sikante
  6. Permainan Padang Alai
  7. Permainan Padang Partaikan

Permainan yang didapat saat di Bukittinggi:

  1. Permainan Orang Lawah
  2. Permainan Lintang
  3. Permainan Solok
  4. Permainan Singkarak
  5. Permainan Sipei
  6. Permainan Paya Punggung
  7. Permainan Katak Gadang
  8. Permainan Air Bangis
  9. Permainan Tariakan

Pada tahun 1898, beberapa tahun sebelum Setia Hati Pemuda Sport Club (SH PSC), Eyang Suro bertolak ke Banda Aceh. Di tempat ini Ki Ageng Soerodiwirdjo memperoleh pelajaran-pelajaran pencak silat lainnya, yakni:

  1. Permainan Aceh Pantai
  2. Permainan Kucingan
  3. Permainan Bengai Lacam
  4. Permainan Simpangan
  5. Permainan Turutung

Guru Eyang Suro

Eyang Suro memiliki guru saat melakukan dan mengikuti latihan di suatu daerah. Salah satunya adalah Datuk Rajo Batuah, gurunya saat ia berlatih di Bengkulu. Datuk Rajo Batuah, selain mengajarkan ilmu bela diri kepada Eyang Suro, ia juga mengajarkan tentang ilmu kebatinan atau kerohanian. Ilmu kebatinan Datuk Rajo Batuah hanya diberikan kepada murid-murid yang telah memasuki tingkatan ke dua.

Baca Juga: Cara Membuat Surat Izin Tidak Masuk Latihan PSHT

Saat merantau ke Aceh tahun 1898 Eyang Suro memiliki beberapa guru pencak silat. Di antaranya adalah:

  1. Tengku Achmad Ibrahim
  2. Gusti Kenongo Mangga Tengah
  3. Cik Bedoyo

Eyang Suro Kembali ke Surabaya.

Eyang Suro Kembali ke Surabaya pada tahun 1902, tahun di mana Setia Hati Pemuda Sport Club (SH PSC) nantinya akan segera didirikan. Pada kepulangannya Ia bekerja sebagai anggota polisi dengan pangkat mayor polisi. Tahun 1903, di daerah Tambak Grising untuk pertama kalinya Perkumpulan yang awalnya diberi nama sebagai “Sedulur Tunggal Kecer” ini didirikan. Permainan pencak silat dari perkumpulan tersebut bernama “Joyo Gendolo”.

Eyang Suro Diwiryo
Eyang Suro Diwiryo

Pada tahun 1917 nama yang disematkannya berubah menjadi Persaudaraan Setia Hati (SH). Berdirinya Setia Hati pertama kali di kota Madiun sebagai pusatnya hingga sekarang. Tujuan dari perkumpulan persaudaraan tersebut antara lain untuk menyatukan bangsa Indonesia dan jiwa kepribadian Nasional yang kala itu tengah dijajah belanda.

Eyang Suro wafat pada hari jumat legi, tanggal 10 November 1944. Ia dimakamkan di Winongo dalam usianya yang menginjak tahun ke-68.

Pos terkait